Algaer's Blog

Just another WordPress.com weblog

KAUM MUDA DAN KADERISASI PARPOL April 7, 2010

Filed under: kaum muda — algaer @ 2:06 pm
Tags: , ,

Oleh ARWANI

Kaum muda selalu dicitrakan sebagai sosok yang dinamis, kritis, reformis, independen dan lebih berani untuk mendobrak kemapanan. Citra kemudaan seperti itu mengundang berbagai kelompok kepentingan untuk mendekatinya, agar terkesan sebagai pihak yang akomodatif terhadap kaum muda beserta idealismenya. Walaupun akhir-akhir ini agak tergeser oleh perbincangan tentang jatah 30 persen kursi legislatif bagi kaum perempuan, partai politik tetap menjadikan kaum muda sebagai bagian dari retorika politiknya.

Dalam retorikanya, partai politik selalu mengklaim telah memberi ruang ekspresi yang cukup, peran, kesempatan dan kepercayaan kepada kaum muda. Menurut mereka, semuanya dilakukan sebagai wujud tanggungjawab untuk menjalankan kaderisasi terhadap generasi muda bangsa calon pemimpin masa depan.
Dewasa ini, memang banyak kaum muda yang bertebaran di partai politik. Sebagian besar berada di organisasi pemuda yang menjadi underbouw partai politik. Beberapa di antaranya masuk dalam elite kepengurusan partai, bahkan mendapat kesempatan menjadi anggota dewan. Akan tetapi benarkah keberadaan kaum muda tersebut telah benar-benar berada dalam koridor sebuah proses yang disebut kaderisasi?
Melihat realitas yang ada saat ini, paling tidak ada dua hal yang perlu dicermati lebih dalam. Pertama, keberadaan kaum muda di organisasi kepemudaan underbouw partai politik, selama ini sesungguhnya tidak banyak mendapatkan pemberdayaan. Sebab, organisasi semacam itu tidak ada yang benar-benar melakukan kaderisasi secara serius, melainkan lebih sibuk dalam hiruk pikuk politik praktis partai induknya. Pragmatisme politik yang dianut partai induk, juga sangat mendominasi langgam gerakan organisasi itu. Maka kaum muda yang berada dalam organisasi itu, tidak lebih dari sekedar mesiu yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk kepentingan partai induknya. Sementara yang menjadi elite organisasi itu lebih disibukkan dengan kasak-kusuk dalam upaya meningkatkan bargaining position-nya.

Kedua, terakomodasinya kaum muda dalam posisi-posisi penting partai atau di dewan, tidak sekaligus berarti terakomodasinya semangat dan ciri kemudaan mereka. Bahkan mereka pada akhirnya larut terbawa arus pragmatisme politik.

Melihat dua paparan di atas, keberadaan kaum muda dalam partai politik sebenarnya bukan dalam koridor proses kaderisasi, melainkan lebih sebagai proses kooptasi. Partai dan para elitenya melihat kaum muda hanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan praktis jangka pendek. Partai maupun elite partai, dengan kekuatan senioritas maupun financial mereka, akan segera memberikan tekanan jika kaum muda mengambil sikap yang berseberangan. Dalam situasi seperti itu, semangat kemudaan tidak berkembang dan tidak terekspresikan secara bebas.Yang berkembang justru sikap oportunistik.

Situasi kooptasi di tengah pragmatisme politik yang ditempuh partai, akan semakin menjauhkan kaum muda dari citra idealnya. Dalam konteks yang lebih luas, berkaitan dengan kepentingan demokratisasi bangsa, kondisi seperti itu sangat merugikan, karena partai politik justru menjadi tempat pengkaderan pialang atau ‘broker’ politik. Bahkan karena tingkat pendidikannya yang lebih baik, ditambah pengalaman yang diasah sejak dini di partai politik, kaum muda tersebut lebih berkemungkinan menjadi pialang politik yang lebih licin dan licik dibanding para pendahulunya.

Kader Ideolog

Kaum muda adalah penerus estafeta kepemimpinan bangsa. Karenanya, kadar visi dan idealisme kaum muda turut menentukan masa depan bangsa. Jika kaum muda mempunyai visi, idealisme dan moral yang bisa dipertanggungjawabkan, maka peluang akan terwujudnya masa depan bangsa yang lebih baik akan menjadi lebih terbuka.
Dalam konteks seperti itu, posisi partai politik sangat strategis karena ia merupakan lembaga formal yang secara langsung bersinggungan dengan proses pergantian kepemimpinan. Tentunya, kaum muda yang berada dalam partai politik lebih besar peluangnya dalam proses tersebut. Oleh karena itu, seharusnya partai politik melakukan pengkaderan yang serius dalam rangka menyiapkan calon-calon penerus kepemimpinan bangsa.

Pengkaderan harus dibedakan dengan perekrutan. Perekrutan (recruitment) lebih terfokus pada upaya mendapatkan anggota atau simpatisan partai sebanyak mungkin. Pengkaderan merupakan upaya sistematis dan terstruktur untuk memberdayakan generasi penerus dengan pengetahuan dan kecakapan tertentu sehingga mampu memahami dan meneruskan perjuangan partai.
Akhir-akhir ini sudah ada satu dua partai yang melakukan kaderisasi secara sistematis dan terstruktur, akan tetapi semangat yang digunakan masih semangat kooptasi, sehingga kader yang lahir tidak berbeda jauh dengan kader-kader sebelumnya. Yang sama sekali belum pernah dilakukan adalah pengkaderan yang melahirkan kader ideolog. Kader ideolog dimaksud bukan kader yang setia-buta dan bersikap fanatis-ideologis terhadap partai, melainkan kader yang mampu menjadi ideolog partai dengan pancaran visi, idealisme dan moralnya.

Berkaitan dengan garis perjuangan partai, kader ideolog ini mesti menguasai platform partai. Dari platform ia tahu visi, misi dan garis perjuangan partai. Penguasaan platform ini penting dalam rangka pembumian nilai-nilainya di setiap sikap dan tindakan partai. Selain menguasai platform, kader ideolog mesti mempunyai keteguhan dalam memegang etika politik. Internalisasi etika politik dan paltform partai secara inklusif akan membentengi kaum muda dari proses reduksi moral atau pencemaran moral yang hampir selalu melanda mereka yang masuk partai politik. Internalisasi ini juga akan membentuk kader partai yang mandiri dan independen dari dominasi elite partai, yaitu kader yang lebih memilih setia terhadap nilia-nilai platform partai dan etika politik dibanding terhadap elite partai.

Keberadaan kader ideolog seperti itu, bisa berperan sebagai bagian dari mekanisme self-control dalam tubuh partai. Partai akan relatif terjaga dari sikap dan tindakan elite politiknya yang menyimpang dari platform dan etika politik. Di sisi lain, partai bisa memposisikannya sebagai apa yang oleh Gramsci disebut intelektual partai dengan tugas-tugas yang lebih membutuhkan kapasitas intelektual.

Kemauan Elite Partai

Sebenarnya partai politik mempunyai kemampuan untuk melakukan pengkaderan yang menghasilkan kader ideolog. Dari sisi SDM, banyak aktivis partai politik yang sewaktu menjadi mahasiswa malang melintang di organisasi ekstra kampus seperti GMNI, HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, KAMMI dan sebagainya. Karenanya mereka sudah hafal dengan pola-pola pengkaderan seperti Basic Training (Batra), Latihan Kader (LK), Pendidikan Kader Dasar (PKD), Darul Arqam Dasar (DAD) dan sebagainya. Banyak pula yang berasal dari kalangan LSM dengan segudang pengalaman mengenai workshop dan pelatihan-pelatihan.

Dari sisi pendanaan sebenarnya juga cukup. Hanya saja, untuk saat ini partai-partai lebih suka menggunakannya untuk perlombaan membuat bendera partai sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya, sekaligus berlomba mencuri start kampanye. Atau, mereka lebih bangga mengadakan acara-acara kolosal dengan menghadirkan ketua umum partai, pengerahan massa dan konvoi massa keliling kota yang hampir pasti disertai dengan penyerobotan terhadap hak pengguna jalan lainnya.

Yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketidakmauan elite partai untuk mengambil kebijakan pengkaderan seperti itu. Sebab, keberadaan kader ideolog yang visioner dan idealis, justru akan membuat elit politik gerah karena mereka tidak lagi nyaman untuk bersikap dan bertindak di luar platform partai dan nilai-nilai etika politik. Padahal sikap dan tindakan itulah yang kini marak terjadi di hampir semua partai politik.

Selain itu, munculnya kader-kader muda yang visioner, idealis, independen dan cerdas serta didukung oleh tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi, akan semakin memperketat persaingan internal partai dan mengancam status quo elite politik yang saat ini sedang menguasai partai.
Jika menghadapi situasi seperti itu, maka kaum muda dalam partai politik manapun harus berani mengambil sikap untuk tetap mengupayakan proses pengkaderan yang serius. Hasil pengkaderan dan efek yang ditimbulkannya merupakan investasi politik yang nantinya akan dinikmati oleh partai, bangsa dan kaum muda itu sendiri.

Bagi kaum muda sendiri, pengkaderan berarti pemberdayaan yang akan meningkatkan performance mereka. Kemudian, kader ideolog yang dimunculkan lewat pengkaderan, akan mendinamisir performance partai. Dalam tahap ini bisa jadi ada yang merasa terkorbankan, tapi itu sebatas di antara elite partai saja yang sebelumnya menikmati kemapanan, dan barangkali memang ‘layak’ untuk dikorbankan. Meningkatnya performance partai tentu saja akan meningkatkan dukungan pemilih, karena untuk 10 atau 15 tahun ke depan masyarakat akan lebih kritis dan rasional. Kondisi seperti itu pada akhirnya akan memperkuat proses demokratisasi bangsa.

 

Tinggalkan komentar